Kategori Artikel
HAK ASUH ANAK (HADHANAH) DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Aulia Rochmani Lazuardi, S.H.
Pendahuluan
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak , anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Undang-undang ini mengacu pada Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 1990. Pengertian anak menurut undang-undang menjadi dasar penting dalam menentukan kebijakan dan perlindungan terhadap anak. Undang-undang yang mengatur tentang anak ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap anak mendapatkan hak-haknya secara penuh, terlindungi, dan terjamin.
Dalam undang-undang tersebut dijelaskan mengenai hak-hak anak antara lain hak atas kehidupan, hak atas identitas, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, dan hak atas perlindungan dari kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Hak-hak anak tersebut tentunya merupakan tanggungjawab orang tua, yang merupakan lingkungan pertama bagi anak. Orang tua berkewajiban memberikan perlindungan, Pendidikan, kesehatan, dan kasih sayang kepada anak. Selain itu, orang tua berkewajiban memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan social anak.
Selain orang tua, negara juga berperan penting dalam upaya memenuhi hak-hak anak. Tanggungjawab negara adalah menciptakan kebijakan, program, dan Lembaga yang melindungi hak-hak anak. negara juga harus menyediakan akses yang adil serta merata terhadap layanan Pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya bagi anak.
Disamping itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mengatur mengenai kedudukan hukum anak, baik dalam keluarga maupun dalam hubungan bermasyarakat. Khusus bagi anak yang beragama islam, kedudukan, hubungan, kewajiban, dan hak hukum anak diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Salah satu hal yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam adalah mengenai hak asuh anak. Hak asuh anak (hadhanah) merupakan pemeliharaan orang tua yang sudah bercerai atas anak. Perceraian merupakan suatu tindakan hukum yang dibenarkan oleh agama dalam keadaan darurat yang dapat dilalui oleh suami istri apabila ikatan perkawinan tidak dapat dipertahankan keutuhannya. Akibat hukum yang ditimbulkan pascaperceraian diantaranya mengenai sengketa harta bersama dan hak asuh anak (hadhanah). Perceraian tidak memutuskan hubungan anatara ayah-ibu dengan anaknya. Anak tetap berhak atas pengasuhan dan kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Namun tak jarang dijumpai, banyak terjadi perebutan hak asuh anak (hadhanah) antara ayah dan ibu. Baik antara ayah dan ibu merasa paling berhak untuk mengasuh anak. Bahkan terkadang, salah satu orang tua ingin mengasuh anak sendiri tanpa melibatkan orang tua lainnya. Hal ini tentunya berakibat tidak baik bagi tumbuh kembang dan psikis anak.
Berdasarkan uraian permasalahan tersebut, penulis ingin mengkaji lebih dalam bentuk penelitian mengenai “Hak Asuh Anak (Hadhanah) Dalam Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam Di Indonesia”
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah kualitatif-normatif. Penulis dalam menyusun penulisan ini menggunakan bahan-bahan kepustakaan seperti bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. (1) Bahan hukum primer yang digunakan bersumber dari undang-undang, ayat dan hadis, atau buku-buku yang relevan dengan judul. (2) Sedangkan untuk bahan hukum sekunder, penulis peroleh dari internet baik itu berupa artikel, jurnal, opini, maupun tulisan lainnya yang menunjang data primer yang penulis gunakan. (3) Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum pelengkap, berupa kamus untuk menerjemahkan hata-kata yang tidak dimengerti. Adapun Teknik analisis data dalam penulisan ini menggunakan Teknik analisis data secara kualitatif. Data kualitatif merupakan data sebaliknya dimana lebih banyak berhubungan dengan kata-kata atau pembicaraan. Jenis penelitian kualitatif bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. (Ramdhan, 2021)
Hasil Penelitian dan Pembahasan
- Hak Asuh Anak (Hadhanah) dalam Hukum Positif Indonesia.
Hukum keluarga sangatlah penting karena mengatur segala hal tentang hubugan hukum dalam sistem keluarga. Pengaturan dalam hukum keluarga bertujuan untuk memberi dasar yang jelas bagi hubungan hukum antara anggota keluarga beserta hak dan kewajibannya.
Kedudukan anak di Indonesia diatur dalam beberapa perundangan, antara lain:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Ketentuan tentang anak dalam Undang-Undang Perkawinan terdapat dalam beberapa bab dan pasal, yaitu:
- Kedudukan anak, diatur dalam Bab IX Pasal 42-44;
- Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, diatur dalam Bab X Pasal 45-49;
- Perwakilan, diatur dalam Bab IX Pasal 50-54;
- Pembuktian asal usul anak, diatur dalam Bab XII Pasal 55.
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Dalam pasal 1 angka (11) Undang-Undang Perlindungan Anak, ditegaskan bahwa pengasuhan anak oleh orang tua kandung adalah kuasa asuh, yaitu kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik dan memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya. Kewajiban orang tua tetap melekat meski perkawinan keduanya putus karena perceraian. Tanggungjawab orang tua terhadap anak ditegaskan dalam Pasal 45 Undang-Undang Perlindungan Anak, yakni memelihara dan mendidik anak mereka sebaik-baiknya sampai anak tersebut dewasa atau mandiri. Disebutkan pula dalam Pasal 26, kewajiban orang tua meliputi 3 hal;
- Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
- Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
- Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
- Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kompilasi Hukum Islam merupakan himpunan norma hukum yang diperuntukkan bagi mereka yang beragama islam. Adapun cakupan norma hukum materil yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam mencakup 3 bidang, yakni hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan. Sedangkan cakupan hukum formil terkait dengan tatacara perceraian dalam Bab XVI Pasal 113. Dalam konteks kedudukan anak, terdapat beberapa bab yang mengaturnya, antara lain:
- Pemeliharaan anak, diatur dalam Bab XIV Pasal 98-106, Bab XVII Pasal 156;
- Perwalian anak, diatur dalam Bab XV Pasal 107-112, dan;
- Hak anak atas nafkah pemeliharaan dari ayah kandungnya, diatur dalam Bab XVII Pasal 149 huruf (d).
Dalam Pasal 105 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Kemudian dalam ayat (2) dijelaskan bahwa, pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Mengenai nafkah anak dijelaskan kemudian dalam ayat (3), biaya oemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
- Hak Asuh Anak (Hadhanah) dalam Hukum Islam.
Pengasuhan anak dalam hukum islam disebut juga dengan hadhanah. Hadhanah menurut bahasa berati “meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan”, karena sewaktu seorang ibu menyusui anaknya, diletakkan anak itu di pangkuannya, seakan-akan ibu disaat itu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga “hadhanah” dapat pula dimaknai sebagai “Pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu.” (M. Natsir Asnawi, 2022)
Adapun pengertian hadhanah secara etimologi berarti disamping atau berada di bawah ketiak. Hadhanah berasal dari kata hadhana-yahdhunu-hadhanatun yang artinya mengasuh atau memeluk anak. Menurut Kamal Muhtar, hadhanah berasal dari kata “al-hidlnu” yang artinya “rusuk”. kemudian kata hadhanah dipakai sebagai istilah “Pendidikan anak” karena seorang ibu yang mengasuh atau menggendong anaknya sering meletakkannya pada sebelah rusuknya. (Husnatul Mahmudah, 2018)
Menurut Sayyid Sabiq, hadhanah artinya melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil baik laki-laki atau Perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz, tanpa perintah dari padanya, menyediakan sesuatu yang merusak jasmani, Rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan dapat memikul tanggungjawab apabila ia sudah dewasa. (M. Natsir Asnawi, 2022) Tamyiz artinya dapat membedakan hal yang baik dan yang buruk.
Dalam Islam, mengasuh anak wajib bagi orang tua. Berdasarkan surat at-Tahrim ayat 6 yang berbunyi:
اَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S at-Tahrim ayat 6)
Pada ayat tersebut, Allah SWT memerintahkan para orang tua untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan upaya dan usaha agar seluruh anggota keluarga, termasuk anak, untuk menjalankan semua perintah Allah SWT serta menjauhi larangannya. (Muhajir, 2017)
Dalam periode sebelum mumayyiz, yaitu sejak anak dilahirkan sampai menjelang usia 7 (tujuh) atau 8 (delapan) tahun, jumhur ulama menyimpulkan bahwa ibu lebih berhak dalam melakukan pengasuhan terhadap anaknya.
Adapun dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Daud, berdasarkan sabda Rasulullah SAW kepada seorang Perempuan yang mengadu kepada beliau bahwa anaknya diambil oleh suaminya.
انت احق به ما لم تنكحي
“Kamu lebih berhak atas anak itu selama kamu belum menikah (lagi).” (HR. Ahmad: Abu Daud, dan dishahihkan oleh Imam Al-Hakim)
Jika seorang ibu tidak ada, maka yang paling berhak untuk melakukan hadhanah adalah ibu dari ibu seorang anak (nenek), kerena nenek dari pihak ibu dianggap sebagai ibu. Jika nenek tidak ada, maka yang paling berhak adalah saudara perempuan ibu (bibi) dan saudara perempuan ibu (bibi) dianggap menempati kedudukan sebagai ibu. Berdasarkan sabda Nabi:
الخالة بمنزلة الأم
“Saudara perempuan ibu (bibi) itu kedudukannya sama seperti ibu.” (HR. AlBukhari: 3/242, Abu Daud: 2280, dan At-Tirmidzi: 1904)
Diriwayatkan pula dari Ibnu Abi Syaibah bahwa pada masa Khalifah Abu Bakar, terjadi sengketa antara Umar bin Khattab dengan bekas istrinya. Suatu Ketika Umar pergi ke Quba dan mendapati anaknya sedang bermain. Saat Umar memegang anaknya tersebut dengan maksud membawa sang anak pergi besamanya, terjadi perselisihan antara Umar dengan pihak ibu. Peristiwa ini disampaikan kepada Khalifah Abu Bakar. Kemudian dengan pertimbangannya, Abu Bakar memutuskan bahwa anak tersebut ikut bersama ibunya.
Dalam periode memayyiz, pada saat anak berusia 7 (tujuh) tahun atau menjelang baligh, anak boleh menentukan apakah ia akan ikut dan diasuh oleh ibu atau ayahnya. Disebutkan dalam satu hadis dari Abu Hurairah, seorang wanita mengadukan tingkah bekas suaminya yang bermaksud mengambil anak mereka. Anak tersebut telah mampu menolong ibunya untuk mengambil air dari sumur. Kemudian Rasulullah SAW menghadirkan ayah dan ibu si anak tersebut dam memutuskan melalui sabdanya, “Hak anak, ini ibumu dan ini ayahmu, pilihlah yang mana yang kau sukai untuk tinggal bersamanya.” Lalu anak itu memilih ibunya. Dalam hadis tersebut, sang anak diperkirakan telah berusia diatas 7 tahun atau sudah mumayyiz. Karena telah mampu membantu ibunya mengambil air di sumur. Sang anak telah dianggap mampu berpikir mengenai perbuatan apa yang baik dan tidak baik bagi dirinya serta bagaimana ia seharusnya berbakti kepada orang tuanya.
Dalam pandangan Islam, tidak setiap orang dapat diberi hak untuk mengasuh anak, bahkan jika kedua orang tua tidak dapat atau tidak layak melaksanakan tugas tersebut dikarenakan suatu dan lain hal, maka pengasuhan dapat dialihkan kepada kerabat lain yang dipadangan cakap serta memenuhi syarat sebagai orang yang memegang hak asuh anak. Islam juga mengajarkan pentingnya Kerjasama antara ayah dan ibu dalam mengasuh anak.
Kesimpulan
Perceraian orang tua tidak hanya membawa dampak fisik dan psikis bagi keduanya, tetapi berdampak bagi tumbuh kembang anak. Terlebih lagi apabila terjadi perselisihan mengenai hak asuh atas anak keduanya. Baik dalam Hukum Positif maupun Hukum Islam telah mengatur mengenai orang tua atau setiap orang yang berhak memegang hak asuh anak (hadhanah) jika terjadi perceraian kedua orang tua. Di Indonesia sendiri peraturan mengenai hak asuh anak (hadhanah) telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Adapun dalam Hukum Islam, terdapat hadis yang menyimpulkan bahwa anak yang belum mumayyiz diasuh oleh ibunya, tetapi bila telah mumayyiz atau dapat membedakan yang baik atau buruk, maka sang anak dapat memilih sesuai kehendaknya untuk memilih ikut dan diasuh oleh ibu atau ayahnya. Pada pokoknya, perlu kerja sama antara ayah dan ibu dalam hal mengasuh anak, demi menjaga tumbuh kembang anak dan psikis anak. Kerja sama tetap harus terjalin demi kelancaran pelaksanaan pengasuhan anak.
DAFTAR PUSTAKA
Husnatul Mahmudah, d. (2018). Hadhanah Anak Pascra Putusan Perceraian (Studi Komparatif Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia). Sangaji Jurnal Pemikiran Syariah dan Hukum, 61.
- Natsir Asnawi, S. (2022). Hukum Hak Asuh Anak Penerapan Hukum dalam Upaya Melindungi Kepentingan Terbaik Anak. Jakarta: Kecana.
Muhajir, A. (2017). Hadhanah Dalam Islam (Hak Pengasuhan Anak dalam Sektor Pendidikan Rumah). Jurnal SAP Vol. 2 No. 2, 168.
Ramdhan, M. (2021). Metode Penlitian. Surabaya: Cipta Media Nusantara.