Perdamaian dalam Perkara Ekonomi Syariah dengan Gugatan Sederhana | Oleh Muhammad Wildi, S.H., M.H. | Hakim Pengadilan Agama Pelaihari Kelas IB Website Pengadilan Agama Pelaihari

-->
website Pengadilan Agama Pelaihari memberikan kemudahan kepada masyarakat penyandang disabilitas. silahkan blok tulisan. agar kami dapat membacakannya   Click to listen highlighted text! website Pengadilan Agama Pelaihari memberikan kemudahan kepada masyarakat penyandang disabilitas. silahkan blok tulisan. agar kami dapat membacakannya Powered By GSpeech
gspeech_html   Click to listen highlighted text! gspeech_html Powered By GSpeech

Kategori Artikel

 

Perdamaian dalam Perkara Ekonomi Syariah dengan Gugatan Sederhana

 

Muhammad Wildi1

1 Hakim Pengadilan Agama Pelaihari Kelas IB

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk menggali dan menganalisis prosedur perdamaian dan kekuatan hukum perdamaian yang diajukan para pihak yang sedang mengajukan sengketa ekonomi syariah dengan gugatan sederhana. Menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), bersifat deskriptif analitis, tulisan berfokus pada bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang sengketa ekonomi syariah dengan gugatan sederhana, dihubungkan juga dengan bahan hukum sekunder yang relevan. Diolah dengan teknik survei bahan hukum, seleksi dan pengelompokan peraturan perundang-undangan, dan pengkajian literatur. Tulisan ini menghasilkan bahwa dalam pemeriksaan perkara ekonomi syariah dengan gugatan sederhana tetap dilakukan perdamaian oleh Hakim pemeriksa perkara (Pasal 14 ayat (1) huruf b dan Pasal 15 ayat (1) Perma Nomor 2 Tahun 2015) dan kekuatan hukum kesepakatan perdamaian yang diajukan para pihak yang dikuatkan dengan putusan akta perdamaian (acta van dading) adalah sama dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, tidak dapat diajukan upaya hukum apapun, serta memiliki kekuatan eksekutorial (executorial kracht) (Pasal 15 ayat (3) sampai dengan (5) Perma Nomor 2 Tahun 2015). Hakim yang notabene Juru Damai hendaknya memaksimalkan perdamaian, dan para pihak yang bersengketa juga perlu memahami aturan gugatan sederhana itu sendiri agar terwujud peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Tulisan ini perlu dilanjutkan dengan tulisan dan penelitian yang akan datang dengan perluasan pada sisi efektifitas praktik perdamaian dalam perkara ekonomi syariah dengan gugatan sederhana di Pengadilan Agama.

Kata kunci : Perdamaian; Gugatan Sederhana; Ekonomi Syariah

 

Abstract

This article aims to explore and analyze the procedures for conciliation and the power of peace law submitted to parties who are filing a sharia economic lawsuit with small claim court. Using a normative juridical research method with a statute approach, descriptive analytical in nature, the writing focuses on primary legal materials in the form of laws and regulations governing sharia economic disputes with small claim court, also with relevant secondary legal materials. Processed with legal materials survey techniques, selection and grouping of laws and regulations, and literature review. This paper results that in examining sharia economic cases with small claim court, reconciliation is still carried out by the case examining judge (Chapter 14 paragraph (1) letter b and Chapter 15 paragraph (1) regulations of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 2 of 2015) and the legal force of the peace agreement published by the parties which is strengthened by the decision of the deed of reconciliation (acta van dading) is the same strength as the judge's decision which has permanent legal force, cannot submit any legal remedy, and has execution power (executorial kracht) (Chapter 15 paragraph (3) to (5) regulations of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 2 of 2015). The judge who is known as the Peacemaker maximizes peace, and the disputing parties also need to understand the small claim court rules themselves so that a simple, fast and low-cost trial is realized. This paper needs to be continued with future writing and research with an expansion on the effectiveness of peace practices in sharia economic issues with small claim court in the Religious Courts.

Keywords: Peace; small claim court; sharia economy

Pendahuluan

Kegiatan ekonomi dalam masyarakat Indonesia semakin meningkat, terlebih pada kelas menengah seiring dengan semakin berkembangnya sarana teknologi informasi dalam kegiatan perekonomian (Nizar, 2020). Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa ekonomi Indonesia pada triwulan III tahun 2022 tumbuh sebesar 5,75% (y-on-y), angka tersebut sudah mengalami pertumbuhan dari triwulan sebelumnya sebesar 1,81% (q-to-q) (Badan Pusat Statistik, 2022). Dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi tersebut maka selalu ada kemungkinan muncul sengketa di antara para pelakunya. Penyelesaian sengketa yang cepat dan memberikan kepastian hukum adalah suatu kebutuhan (Mahkamah Agung RI, 2015).

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019 telah mengamanatkan kepada pihak terkait untuk membentuk suatu proses penyelesaian sengketa perdata dengan acara yang sederhana dan cepat sebagai salah satu program pembangunan di bidang hukum yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing perekonomian nasional dan kemudahan berusaha di Indonesia (Kementerian PPN/Bappenas, 2014). Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menanggapinya dengan menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, Perma tersebut mendapatkan tanggapan positif dari masyarakat dalam menyelesaikan sengketa (Putra dkk., 2018), dan pada tahun 2019 kebijakan tersebut diubah untuk pembaruan dengan Perma Nomor 4 Tahun 2019 (Mahkamah Agung RI, 2019).

Sebelum Perma Nomor 2 Tahun 2015 diterbitkan, Mahkamah Agung juga telah menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (Sema) Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada 4 (Empat) Lingkungan Peradilan, dalam Sema tersebut mengharuskan Pengadilan Tingkat Pertama menyelesaikan perkara yang ditangani paling lambat 5 bulan dan untuk penyelesaian perkara pada Pengadilan Tingkat Banding paling lambat 3 bulan (Mahkamah Agung RI, 2014b), sehingga dengan diterbitkannya Perma Nomor 2 Tahun 2015 Mahkamah Agung terlihat bersungguh-sungguh dalam hal efektifitas dan efisiensi penyelesaian perkara.

Perkara ekonomi syariah bukan hal baru dalam dunia Peradilan Agama, kewenangan ini sudah ada sejak perubahan Undang-Undang Peradilan Agama yang pertama yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang tertulis dalam Pasal 49 huruf i beserta penjelasannya menjabarkan perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah antara lain meliputi: a. Bank syariah; b. Lembaga keuangan mikro syariah; c. Asuransi syariah; d. Reasuransi syariah; e. Reksa dana syariah; f. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; g. Sekuritas syariah; h. Pembiayaan syariah; i. Pegadaian syariah; j. Dana pensiun lembaga keuangan syariah; dan k. Bisnis syariah (Republik Indonesia, 2006). Terlebih dengan lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 yang pada pokoknya menyatakan penjelasan Pasal 55 ayat (2) UUPS bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sehingga menghapus choice of forum antara lembaga litigasi yakni Peradilan Umum dengan Peradilan Agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah (Hidayat, 2020), dengan demikian seluruh sengketa perbankan syariah yang diselesaikan melalui jalur litigasi harus diadili oleh Peradilan Agama. Terhadap para pihak yang memilih lembaga non litigasi, tindakan tersebut dapat dibenarkan selama telah disepakati sejak awal perjanjian dan lembaga non litigasi tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah (Suadi, 2017).

Seiring berjalannya waktu pasca terbitnya Perma Nomor 2 Tahun 2015, Mahkamah Agung merespon perkara ekonomi syariah dengan meluncurkan Perma Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah yang di dalamnya mengatur perkara ekonomi syariah dapat diajukan dalam bentuk gugatan sederhana sesuai dengan Perma 2 Tahun 2015 atau gugatan acara biasa (Mahkamah Agung RI, 2016b, ps. 2),  hal demikian membahagiakan para pihak yang menginginkan sengketa ekonomi syariah diselesaikan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, terlebih Mahkamah Agung sudah memberikan pembaruan terhadap Perma tersebut.

Sekilas, sengketa ekonomi syariah yang diselesaikan dengan gugatan sederhana lebih cepat dan mudah, padahal ada jalan lain yang lebih maslahat yakni diselesaikan dengan perdamaian atau disebut dengan sulh (Manan, 2012), penyelesaian sengketa melalui perdamaian juga jauh lebih efektif dan efisien sehingga berkembang cara penyelesaian sengketa (settlement method) di luar Pengadilan yang dikenal sebutan Alternative Dispute Resolution (ADR) contohnya seperti mediasi dan lainnya (Harahap, 2017). Quran juga telah menggariskan secara tegas dalam potongan ayat 128 Surat An-Nisa, sebagai berikut:

...وَالصُّلْحُ خَيْرٌ ...

Artinya:

“...Perdamaian itu lebih baik...”

Penelitian oleh Nur Fauzi yang membahas tentang penyelesaian sengketa ekonomi syariah berbasih sulh (damai) untuk mencapai keadilan juga mengutamakan perdamaian dari pada melalui proses litigasi (Fauzi, 2018), begitu juga dengan penelitian Dewi Riza Lisvi Vahlevi yang lebih mengutamakan sulh dari pada prosedur tahkim (litigasi atau arbitrase) (Vahlevi, 2021). Penelitian Safitri Mukarromah dan Wage pun menemukan bahwa lembaga keuangan syariah wilayah Banyumas untuk pembiayaan bermasalah lebih banyak diselesaikan secara non litigasi atau dengan internal mereka sendiri dalam bentuk revitalisasi melalui restructuring, reschedulling, reconditioning dan bantuan manajemen dari pada diselesaikan melalui litigasi (Mukarromah & Wage, 2019). Sehingga menjadi pertanyaan, bagaimana jika pihak sudah mengajukan perkara ekonomi syariah dengan gugatan sederhana, apakah bisa diselesaikan dengan perdamaian? Maka kita perlu melihat aturan yang mengatur tentang perdamaian atau mediasi di Pengadilan.

Prosedur mediasi di pengadilan diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2016, dalam perma tersebut mengatur bahwa sengketa yang diselesaikan melalui tata cara gugatan sederhana merupakan sengketa yang dikecualikan dari kewajiban penyelesaian melalui Mediasi (Mahkamah Agung RI, 2016a, ps. 4, a. 2), sehingga mediasi tidak terdapat dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah dengan gugatan sederhana. Sehingga menjadi pertanyaan lagi, bagaimana jika pihak telah mengajukan sengketa ekonomi syariah dengan gugatan sederhana namun hendak berdamai? Beranjak dari pertanyaan yang belum terjawab dengan penelitian sebelumnya inilah Penulis tertarik untuk membahas perdamaian para pihak dalam sengketa ekonomi syariah yang diajukan dalam bentuk gugatan sederhana, dengan rumusan masalah berikut:

  1. Bagaimana prosedur para pihak menghendaki perdamaian dalam sengketa ekonomi syariah yang diajukan dalam bentuk gugatan sederhana? dan
  2. Bagaimana kekuatan hukum perdamaian yang dilakukan para pihak yang sudah mengajukan sengketa ekonomi syariah dengan gugatan sederhana?

Tujuan utama penulisan artikel ini adalah untuk menjawab rumusan masalah yang berimplikasi pada diketahuinya prosedur perdamaian dan kekuatan hukum perdamaian yang dilakukan para pihak yang sedang mengajukan sengketa ekonomi syariah dengan gugatan sederhana, tujuan selanjutnya adalah usaha pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum, terkhusus penyelesaian sengketa ekonomi syariah, dan dapat dijadikan khasanah keilmuan untuk pengembangan penelitian selanjutnya pada topik ini dengan objek yang berbeda. Pembahasan dalam artikel ini hanya terbatas pada perdamaian dalam sengketa ekonomi syariah yang diajukan dengan gugatan sederhana saja, sehingga tidak membahas perdamaian dalam sengketa ekonomi syariah yang diajukan dengan gugatan biasa atau bahkan di luar sengketa ekonomi syariah.

Metode

Penulisan artikel menggunakan jenis penelitian yuridis normatif, yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer ataupun sekunder (Soekanto & Mamudji, 2007). Pendekatan penelitian dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), bersifat deskriptif analitis yakni menguraikan dan menjelaskan data-data yang ada (Ali, 2018). Dalam hal ini penelitian fokus pada bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang sengketa ekonomi syariah dengan gugatan sederhana, dihubungkan juga dengan bahan hukum sekunder yang relevan.

Teknik pengumpulan dan pengolahan bahan hukum dengan survei bahan hukum, seleksi dan pengelompokan peraturan perundang-undangan, dan pengkajian literatur. Dalam menganalisa bahan hukum, Penulis menggunakan analisis desktiptif guna menjelaskan atau memberikan gambaran-gambaran dengan mendasarkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan hingga dapat menjawab permasalahan dari penulisan ini.

Hasil dan Pembahasan

  1. Sengketa ekonomi syariah diajukan dengan gugatan sederhana

Sebelum membahas lebih jauh, perlu dipahami terlebih dahulu terkait dengan point utama perkara yang dapat diajukan dengan gugatan sederhana, seluruh syarat dan prosedur diatur dalam Perma Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana serta perubahannya yang ada dalam Perma Nomor 4 Tahun 2019, sebagai berikut:

Tabel Penjelasan Ketentuan Gugatan Sederhana

Gugatan Sederhana

Ketentuan umum

Subjek hukum

Objek hukum

Gugatan sederhana adalah tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materiil paling banyak Rp500.000.000,00 yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktiannya sederhana

Para pihak terdiri dari Penggugat dan Tergugat yang masing-masing tidak boleh lebih dari satu, kecuali memiliki kepentingan hukum yang sama. Terhadap Tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya, tidak dapat diajukan gugatan sederhana

Gugatan sederhana diajukan terhadap perkara cidera janji dan/atau perbuatan melawan hukum dengan nilai gugatan materiil paling banyak Rp500.000.000,00

Hakim pemeriksa adalah Hakim Tunggal, penyelesaian gugatan sederhana paling lama 25 hari kerja sejak hari sidang pertama

Penggugat dan Tergugat berdomisili di daerah hukum Pengadilan yang sama. Dalam hal Penggugat berada di luar wilayah hukum tempat tinggal atau domisili Tergugat, Penggugat harus menunjuk kuasa, kuasa insidentil, atau wakil yang beralamat di wilayah hukum atau domisili Tergugat

Tidak termasuk gugatan sederhana, perkara yang diselesaikan melalui pengadilan khusus, atau sengketa hak atas tanah

Penggugat dapat mendaftarkan gugatannya dengan mengisi blanko gugatan yang disediakan di kepaniteraan, berisikan: identitas Penggugat dan Tergugat, penjelasan duduk perkara, dan tuntutan Penggugat. Penggugat wajib melampirkan bukti surat yang sudah dilegalisasi pada saat mendaftar. Penggugat dan Tergugat dapat menggunakan administrasi perkara di Pengadilan secara elektronik

Penggugat dan Tergugat wajib hadir secara langsung setiap persidangan dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa, kuasa insidentil atau wakil dengan surat tugas dari institusi Penggugat

 

Upaya hukum terhadap putusan Hakim dalam gugatan sederhana adalah Keberatan yang diperiksa oleh Majelis Hakim, pemeriksaan dilakukan hanya atas dasar: putusan dan berkas gugatan sederhana, permohonan keberatan dan memori keberatan, dan kontra memori keberatan. Putusan diucapkan paling lambat 7 hari setelah tanggal Penetapan Majelis Hakim. Upaya hukum keberatan merupakan hasil final tidak dapat diajukan upaya hukum banding, kasasi atau peninjaun kembali. Total waktu penyelesaian perkara dengan gugatan sederhana dari pendaftaran hingga upaya hukum keberatan diperkirakan 57 hingga 60 hari kerja

Berdasarkan tabel di atas dapat dipahami bahwa sengketa yang diajukan dengan gugatan sederhana bertujuan untuk mewujudkan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Muhammad, 2020), karena dalam kurun waktu 57 hingga 60 hari kerja sengketa dapat diselesaikan bahkan sampai upaya hukumnya atau melahirkan putusan yang final, terlebih jika diselesaikan dengan perdamaian maka tentu lebih cepat dan sederhana, namun karena perdamaian juga terkait dengan prosedur maka harus mendalami aturan-aturan yang memaparkan tentang prosedur perdamain tersebut.

Setelah memahami inti dari perkara yang dapat diajukan dengan gugatan sederhana, selanjutnya masuk dalam aturan tata cara penyelesaian perkara ekonomi syariah yakni Perma Nomor 14 Tahun 2016, dalam Bab III Pasal 3 dan 4 Perma tersebut pada pokoknya menjelaskan bahwa pemeriksaan gugatan sederhana mengacu pada Perma Nomor 2 Tahun 2015 serta perubahannya, kecuali yang diatur secara khusus dalam Perma Nomor 14 Tahun 2016 yakni terkait kekhususan putusan yang memuat prinsip-prinsip syariah serta ciri khas Peradilan Agama yang memuat kalimat Bismillahirrahmanirrahim (tulisan dengan aksara Arab) pada kepala putusan/penetapan, karena pada dasarnya Perma gugatan sederhana diperuntukkan pada lingkup Peradilan Umum. Sehingga apabila hendak memahami tentang prosedur penyelesaian sengketa ekonomi syariah dengan gugatan sederhana, maka mengacu pada Perma Nomor 2 Tahun 2015 serta perubahannya yakni Perma Nomor 4 Tahun 2019 dan Perma Nomor 14 Tahun 2016.

  1. Perdamaian dalam sengketa ekonomi syariah dengan gugatan sederhana

Prosedur perdamaian para pihak dalam sengketa ekonomi syariah yang diajukan dengan gugatan sederhana tidak tergambar secara eksplisit dalam Perma Nomor 14 Tahun 2016, sehingga harus kembali kepada aturan dasar yang mengatur gugatan sederhana yakni Perma Nomor 2 Tahun 2015, ternyata Penulis mendapati pembahasan khusus tentang perdamaian pada bagian ketujuh membahas peran hakim (Pasal 14) dan bagian kedelapan membahas pemeriksaan sidang dan perdamaian (Pasal 15), pasal-pasal tersebut tidak diubah dalam Perma Nomor 4 Tahun 2019, agar memudahkan untuk memahami letak perdamaian tersebut Penulis menggambarkannya melalui alur proses berikut (berdasarkan Pasal 5 ayat (2)):

Gambar. 1 Alur Proses Pemeriksaan Gugatan Sederhana

Screenshot (231).png

Alur proses di atas menggambarkan bahwa untuk mencapai tahapan perdamaian perlu melewati beberapa tahapan dan tahapan perdamaian berada pada posisi yang tepat untuk memberikan efektifitas dan efisiensi waktu penyelesaian, karena terletak pada sidang pertama yang dihadiri para pihak, sehingga tidak perlu berlama-lama sidang, cukup diselesaikan melalui perdamaian, proses akan selesai dan berakhir dengan putusan perdamaian. Penulis menyimpulkan bahwa berdasarkan penelusuran secara normatif, telah ditemukan bahwa dalam penyelesaian perkara ekonomi syariah dengan gugatan sederhana dapat diselesaikan dengan perdamaian, sehingga para pihak yang sudah dipanggil untuk bersidang tidak perlu khawatir jika hendak menyelesaikan perkaranya dengan mode perdamaian, Pengadilan tidak melulu mengalahkan dan memenangkan salah satu pihak namun juga memenangkan kedua belah pihak (win win solution) sehingga saling menguntungkan.

Pada dasarnya Hakim selain memutus perkara juga sebagai juru damai dalam penyelesaian suatu perkara, ketentuan dasar tersebut bermuara pada Pasal 130 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau Pasal 154 Rechtreglement voor de Buitengewesten (RBg.) yang menjelaskan “Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka pengadilan dengan pertolongan ketua/hakim mencoba akan memperdamaikan mereka” (Soeroso, 2021), bahkan menurut Yahya Harahap berdasarkan Pasal 131 ayat (1) HIR/Pasal 155 ayat (1) RBg. upaya hakim untuk mendamaikan para pihak bersifat imperatif (Harahap, 2017), ketentuan-ketentuan tersebut juga diadopsi dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b Perma Nomor 2 Tahun 2015 yang mewajibkan Hakim mengupayakan penyelesaian perkara secara damai termasuk menyarankan kepada para pihak untuk melakukan perdamaian di luar persidangan, walaupun perkara ekonomi syariah dengan gugatan sederhana dikecualikan dari kewajiban mediasi (Pasal 4 ayat (2) Perma Nomor 1 Tahun 2016 jo. Pasal 15 ayat (2) Perma Nomor 2 Tahun 2015), namun Hakim tetap diwajibkan mendamaikan para pihak yang bersengketa di persidangan. Seluruh ketentuan perdamaian tersebut juga sesuai dengan firman Allah SWT pada Q.S. Al-Anfal ayat 61 yang berbunyi:

۞ وَاِنْ جَنَحُوْا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا وَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

Artinya:

“(Akan tetapi,) jika mereka condong pada perdamaian, condonglah engkau (Nabi Muhammad) padanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya hanya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Berhubungan juga dengan Q.S. Al-Hujurat ayat 9 (Vahlevi, 2021), sebagai berikut:

وَاِنْ طَاۤىِٕفَتٰنِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَاۚ فَاِنْۢ بَغَتْ اِحْدٰىهُمَا عَلَى الْاُخْرٰى فَقَاتِلُوا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتّٰى تَفِيْۤءَ اِلٰٓى اَمْرِ اللّٰهِ ۖفَاِنْ فَاۤءَتْ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَاَقْسِطُوْا ۗاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

Artinya:

“Jika ada dua golongan orang-orang mukmin bertikai, damaikanlah keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap (golongan) yang lain, perangilah (golongan) yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), damaikanlah keduanya dengan adil. Bersikaplah adil! Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bersikap adil”.

Berdasarkan kedua ayat tersebut di atas, Allah telah memerintahkan perdamaian bagi para pihak yang bersengketa, sehingga Perma yang mengatur tentang gugatan sederhana sudah bersesuaian dengan hukum Islam.

Dalam penyelesaian sengketa yang diajukan dengan gugatan sederhana juga perlu memperhatikan batas waktu penyelesaian perkara, sehingga Hakim selain dituntut untuk mengupayakan perdamaian juga dituntut memperkirakan batas waktu penyelesaian perkara agar tidak berlarut-larut hanya dalam upaya perdamaian, dan perdamaian dilakukan dalam persidangan yang dihadiri para pihak, ketentuan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (1) Perma Nomor 2 Tahun 2015.

Akibat hukum dari Hakim yang mengabaikan pemeriksaan tahap mendamaikan dan langsung memasuki tahap pembacaan surat gugatan dan jawab-menjawab dianggap melanggar tata tertib beracara, sehingga proses pemeriksaan dikualifikasi undue process, akibatnya pemeriksaan dianggap tidak sah dan pemeriksaan harus dinyatakan batal demi hukum (Harahap, 2017), oleh karenanya kata yang digunakan dalam Pasal 15 ayat (1) Perma Nomor 2 Tahun 2015 adalah “wajib” bukan “dapat” atau kata lain yang menunjukkan tidak wajiban atau tidak mengikat.

  1. Kekuatan hukum perdamaian dalam sengketa ekonomi syariah dengan gugatan sederhana

Mengenai perdamaian diatur Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Pengertian perdamaian, Pasal 1851 merumuskan: “Perdamaian yaitu suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara” (Harahap, 2017). Berdasarkan Pasal 1851-1864 KUH Perdata, Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg. kesepakatan perdamaian atau akta perdamaian akan memiliki kekuatan hukum apabila memenuhi beberapa syarat meliputi:

  1. Putusan perdamaian mengakhiri perkara

Putusan perdamaian harus mengakhiri perkara secara tuntas dan keseluruhan. Tidak ada lagi yang disengketakan karena semuanya telah diatur dan dirumuskan penyelesaiannya dalam akta tersebut. Selama masih ada yang belum diselesaikan dalam kesepakatan maka akta perdamaian tersebut mengandung cacat formil, karena bertentangan dengan persyaratan yang ditentukan Pasal 1851 KUH Perdata.

  1. Kesepakatan perdamaian dibuat dalam bentuk tertulis

Hal ini dinyatakan dalam Pasal 1851 KUH Perdata dan Pasal 11 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2016 “Persetujuan tidak sah melainkan jika dibuat secara tertulis”. Berdasarkan Pasal tersebut tidak dibenarkan kesepakatan perdamaian yang disampaikan secara lisan.

  1. Pihak yang membuat kesepakatan perdamaian adalah orang yang memiliki kekuasaan

Hal ini didasarkan pada Pasal 1852 “Untuk dapat mengadakan suatu perdamaian, seseorang harus berwenang untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang termaktub dalam perdamaian itu”. Berdasarkan Pasal tersebut seseorang yang dapat membuat kesepakatan perdamaian adalah orang yang mempunyai kedudukan dan kapasitas sebagai persona standi in judicio (Manan, 2016).

  1. Seluruh pihak yang terlibat dalam perkara ikut dalam persetujuan perdamaian

Para pihak dalam perkara yang diajukan harus diikut sertakan semuanya, dalam persetujuan tidak boleh kurang dari pihak awal yang terlibat dalam perkara. Semua orang yang bertindak sebagai Penggugat dan orang yang ditarik sebagai Tergugat, mesti seluruhnya ikut ambil bagian sebagai pihak dalam persetujuan perdamaian yang diajukan untuk putusan perdamaian.

Kesepakatan perdamaian yang dikuatkan dengan putusan hakim (putusan akta perdamaian/acta van dading) yang dilakukan oleh para pihak mempunyai kekuatan mengikat sama dengan putusan hakim pada tingkat akhir, baik itu putusan kasasi maupun peninjauan kembali. Perdamaian itu tidak dapat dibatalkan dengan alasan kekeliruan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan. Kekuatan hukum pada akta perdamaian diatur dalam Pasal 1858 KUH Perdata dan Pasal 130 ayat (2) dan (3) HIR/Pasal 154 ayat (2) dan (3) RBg.. Menurut Pasal 1858 KUH Perdata dijelaskan bahwa, perdamaian di antara pihak, sama kekuatannya seperti putusan hakim yang penghabisan. Hal ini pun ditegaskan pada kalimat terakhir Pasal 130 ayat (2) HIR/Pasal 154 ayat (2) RBg., bahwa akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sehingga terhadapnya sudah tertutup upaya hukum. Lebih lanjut kekuatan dalam akta perdamaian dilekatkan langsung oleh undang-undang, segera setelah diucapkan langsung secara inheren pada dirinya berkekuatan hukum tetap, sehingga akta perdamaian itu mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (Mahkamah Agung RI, 2014a).

Adapun selain mempunyai kekuatan hukum tetap, akta perdamaian juga mempunyai kekuatan eksekutorial. penegasan ini disebut dalam Pasal 130 ayat (2) HIR/Pasal 154 ayat (2) RBg.. Kalimat terakhir pada Pasal tersebut menjelaskan bahwa akta perdamaian berkekuatan sebagai putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan juga berkekuatan eksekutorial (executorial kracht) sebagaimana halnya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Akta perdamaian yang didasarkan atas putusan majelis hakim di pengadilan sudah mempunyai kekuatan eksekutorial. Apabila salah satu pihak tidak menaati atau melaksanakan pemenuhan yang ditentukan dalam perjanjian secara sukarela, pihak yang dirugikan dapat meminta eksekusi pada Pengadilan, atas permintaan itu ketua pengadilan menjalankan eksekusi sesuai dengan ketentuan Pasal 195 HIR/Pasal 206 RBg..

Perma Nomor 2 Tahun 2015 dalam Pasal 15 ayat (3) dan (4) juga telah menerangkan kekuatan Akta Perdamaian dalam gugatan sederhana sebagai berikut: “Dalam hal tercapai perdamaian, Hakim membuat Putusan Akta Perdamaian yang mengikat para pihak dan terhadap Putusan Akta Perdamaian tidak dapat diajukan upaya hukum apapun.” Namun yang menarik adalah dalam ayat (5) pasal tersebut menjelaskan bahwa dalam hal tercapai perdamaian di luar persidangan dan perdamaian tersebut tidak dilaporkan kepada Hakim, maka Hakim tidak terikat dengan perdamaian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Perma ini memang dirancang untuk menyederhanakan mungkin suatu penyelesaian perkara, sehingga diterangkan seterang-terangnya sampai pada kekuatan hukum dari sebuah perdamaian yang tidak dikuatkan dengan putusan Hakim, sehingga para pihak harus sadar dan mengerti tentang prosedur ini agar tidak menimbulkan kerugian di kemudian hari, karena pihak Penggugat dalam menyudahi perkaranya dengan 2 jalan yakni dengan pencabutan perkara dan dengan kesepakatan perdamaian yang dikuatkan dengan akta perdamaian, sehingga apabila para pihak hanya berdamai secara lisan yang berakhir pada Penggugat mencabut perkaranya maka kekuatan hukumnya tidak mengikat dan apabila terjadi sengketa maka harus mengajukan perkara baru, apabila dengan kesepakatan perdamaian yang dikuatkan dengan putusan Hakim maka kekuatannya mengikat para pihak, sehingga apabila putusan akta perdamaian tersebut tidak dilaksanakan salah satu pihak, maka dapat diajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Agama pemutus perkara bukan dengan mengulang pemeriksaan perkara dengan mengajukan perkara baru. Penulis menggambarkan sebagai berikut:

Gambar. 2 Penjelasan Pencabutan Perkara dan Putusan Akta Perdamaian

Screenshot (230).png 

Namun demikian putusan akta perdamaian dapat dibatalkan jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan yang baik, dan ketertiban umum. Oleh karena putusan akta perdamaian dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak yang digariskan dalam Pasal 1230 KUH Perdata maka terhadapnya berlaku juga ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata yang melarang persetujuan mengandung kausa yang haram yakni melanggar atau bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan yang baik, dan ketertiban umum. Bahkan larangan yang secara khusus diatur secara rinci dalam pasal-pasal berikut (Harahap, 2017):

  • Pasal 1859 ayat (1) KUH Perdata yang melarang kesepakatan perdamaian yang mengandung kekhilafan mengenai orangnya atau mengenai pokok perselisihan.
  • Pasal 1859 ayat (2) KUH Perdata, kesepakatan perdamaian tidak boleh dilakukan dengan cara penipuan atau paksaan.
  • Pasal 1860 KUH Perdata, kesepakatan perdamaian tidak boleh mengandung kesalahpahaman tentang duduk perkara atau mengenai alas hak yang batal.
  • Pasal 1861 KUH Perdata, kesepakatan perdamaian yang diadakan berdasarkan surat-surat yang kemudian dinyatakan palsu dianggap mengandung cacat materiil.
  • Pasal 1862 KUH Perdata, suatu kesepakatan mengenai sengketa yang sudah berakhir berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap (res judicata), namun hal itu tidak disadari para pihak atau salah satu dari mereka, maka mengakibatkan kesepakatan tersebut batal.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, Hakim harus menelaah kesepakatan perdamaian yang diajukan para pihak sebelum dikuatkan dengan putusan akta perdamaian agar tidak melanggar atau bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan yang baik, dan ketertiban umum.

Simpulan

Para pihak yang telah mengajukan sengketa ekonomi syariah dengan gugatan sederhana tidak perlu khawatir terkait dengan perdamaian, karena prosedur perdamaian tersedia dalam gugatan sederhana yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b dan Pasal 15 ayat (1) Perma Nomor 2 Tahun 2015 dan alur prosesnya dapat dilihat pada Pasal 5 ayat (2) Perma Nomor 2 Tahun 2015, kedua pasal tersebut tidak diubah dalam Perma Nomor 4 Tahun 2019. Sehingga para pihak bebas menentukan pilihan hendak berdamai atau diselesaikan dengan proses persidangan, pembuktian, hingga pembacaan putusan. Namun perlu jadi perhatian bahwa proses perdamaian juga harus memperhatikan ketentuan batas waktu penyelesaian perkara yang diajukan gugatan sederhana yakni 25 hari kerja sejak hari sidang pertama, Hakim dan para pihak tidak diperkenankan berlarut-larut dalam proses perdamaian.

Kekuatan hukum perdamaian para pihak dalam sengketa ekonomi syariah yang diajukan dengan gugatan sederhana dan perdamaian tersebut dikuatkan dengan putusan akta perdamaian (acta van dading), kekuatannya sama dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, tidak dapat diajukan upaya hukum apapun, serta memiliki kekuatan eksekutorial (executorial kracht). Namun yang menjadi catatan adalah kesepakatan perdamaian tersebut harus yang dikuatkan dalam putusan Hakim, bukan kesepakatan perdamaian hanya secara lisan serta tidak dilaporkan kepada Hakim, apabila demikian maka kesepakatan perdamaian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan Hakim tidak terikat dengan perdamain tersebut, ketentuan tersebut sesuai dengan Pasal 15 ayat (3) sampai dengan (5), isi dan pasal tersebut tidak diubah dalam Perma Nomor 4 Tahun 2019. Dan Hakim harus menelaah kesepatan perdamaian tersebut sebelum dikuatkan dengan putusan agar putusan akta perdamaian tidak melanggar atau bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan yang baik, dan ketertiban umum.

Hakim yang notabene Juru Damai dalam pemeriksaan perkara sengketa ekonomi syariah yang diajukan dengan gugatan sederhana hendaknya memaksimalkan perdamaian, karena lebih maslahat bagi para pihak, dengan tetap memperhatikan batas waktu penyelesaian perkara gugatan sederhana. Dan para pihak yang bersengketa juga perlu memahami aturan gugatan sederhana itu sendiri agar proses persidangan dapat selesai dengan jalur putusan akta perdamaian, demi terwujudnya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Tulisan ini perlu dilanjutkan dengan tulisan dan penelitian yang akan datang dengan perluasan pada sisi efektifitas praktik perdamaian dalam perkara ekonomi syariah dengan gugatan sederhana di Pengadilan Agama.

Daftar Pustaka

Ali, Z. (2018). Metode Penelitian Hukum Cetakan Kesepuluh (1 ed.). Sinar Grafika.

Badan Pusat Statistik. (2022). Berita Resmi Statistik No. 81/11/Th. XXV Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan III-2022. Badan Pusat Statistik.

Fauzi, N. (2018). Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Berbasis Sulh (Damai) untuk Mencapai Keadilan. JURNAL HUKUM EKONOMI SYARIAH, 1(2), Art. 2. https://doi.org/10.30595/jhes.v1i2.3922

Harahap, M. Y. (2017). Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (Kedua). Sinar Grafika.

Hidayat, Y. (2020). Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia. Prenada Media.

Kementerian PPN/Bappenas. (2014). Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 Buku II Agenda Pembangunan Bidang.

Mahkamah Agung RI. (2014a). Buku II Mengenai Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama. Mahkamah Agung RI.

Mahkamah Agung RI. (2014b). Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada 4 (Empat) Lingkungan Peradilan.

Mahkamah Agung RI. (2015). Naskah Akademik Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Mahkamah Agung RI.

Mahkamah Agung RI. (2016a). Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Mahkamah Agung RI. (2016b). Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah.

Mahkamah Agung RI. (2019). Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana.

Manan, A. (2012). Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama. Kencana.

Manan, A. (2016). Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Prenadamedia.

Muhammad, H. (2020). Efektifitas dan Efisiensi Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Peradilan Agama. JURNAL ILMIAH MIZANI: Wacana Hukum, Ekonomi, Dan Keagamaan, 7(1), Art. 1. https://doi.org/10.29300/mzn.v7i1.3192

Mukarromah, S., & Wage, W. (2019). Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah di Lembaga Keuangan Syari’ah Kabupaten Banyumas. Islamadina : Jurnal Pemikiran Islam, 69–82. https://doi.org/10.30595/islamadina.v0i0.3823

Nizar, M. A. (2020). Middle Class and Its Implications for the Indonesian Economy. MPRA (Munich Personal RePEc Archive), 98471. https://mpra.ub.uni-muenchen.de/98471/

Putra, S. G. M. S. R., Hakim, Muh. R., & Albana, M. Z. (2018). Evaluasi Perma Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI.

Republik Indonesia. (2006). Penjelasan Atas Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Soekanto, S., & Mamudji, S. (2007). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Raja Grafindo Persada.

Soeroso, R. (2021). Hukum Acara Perdata Lengkap dan Praktis (HIR, RBg, dan Yurisprudensi) Cetakan Kedelapan. Sinar Grafika.

Suadi, A. (2017). Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Teori dan Praktik. Kencana.

Vahlevi, D. R. L. (2021). Konsep Sulh dan Tahkim sebagai Alternatif dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Era Modern. Jurnal Ekonomi Syariah Darussalam, 2(2), 81–91.


Click to listen highlighted text! Powered By GSpeech